Minggu, 25 Desember 2011

Bani Abbasiyah

A. Mengenal Bani Abbasiyah
Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di Baghdad (sekarang ibu kota Irak). Kekhalifahan ini berkembang pesat dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia. Kekhalifahan ini berkuasa setelah merebutnya dari Bani Umayyah dan menundukan semua wilayahnya kecuali Andalusia. Bani Abbasiyah dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul-Muththalib (566-652), oleh karena itu mereka juga termasuk ke dalam Bani Hasyim. Berkuasa mulai tahun 750 dan memindahkan ibukota dari Damaskus ke Baghdad. Berkembang selama dua abad, tetapi pelan-pelan meredup setelah naiknya bangsa Turki yang sebelumnya merupakan bahagian dari tentara kekhalifahan yang mereka bentuk, dan dikenal dengan nama Mamluk. Selama 150 tahun mengambil kekuasaan memintas Iran, kekhalifahan dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada dinasti-dinasti setempat, yang sering disebut amir atau sultan. Menyerahkan Andalusia kepada keturunan Bani Umayyah yang melarikan diri, Maghreb dan Ifriqiya kepada Aghlabid dan Fatimiyah. Kejatuhan totalnya pada tahun 1258 disebabkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Hulagu Khan yang menghancurkan Baghdad dan tak menyisakan sedikitpun dari pengetahuan yang dihimpun di perpustakaan Baghdad. Keturunan dari Bani Abbasiyah termasuk suku al-Abbasi saat ini banyak bertempat tinggal di timur laut Tikrit, Iraq sekarang.
B. Masa Kejayaan Bani Abbasiyah
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah sebelumnya dari Bani Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas Rahimahullah. Pola pemerintahan yang diterapkan oleh Daulah Abbasiyah berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s/d. 656 H (1258 M).
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
C. Masa Kemunduran Bani abbasiyah
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada masa ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
Dalam kepemimpinan bani abbasiyah banyak melahirkan penyair-penyair yang hebat dan jenius, diantaranya Jallaludin rumi. Kepemimpinanya mencapai puncaknya di bawah ‘Abbasi. Al-Basrah, al-Kuffah, dan Baghdad tampil dengan megah dan memudarkan kota tua Syria, provinsi Timur Persia, dan Asia Tengah. Kemakmuran dan kemewahan menjadi penguasa, menggantikan disiplin asketik gurun. Kehidupan bermandikan jutaan warna dan strutur yang sangat kompleks, begitu kontras dengan kesahajaan zaman sebelumnya. Syair segera terpengaruh. Sebagai cermin kesadaran, syair mengandung ideal-ideal zamannya. Periode ‘Abbasi dikarunia dengan banyak penyair besar. Tujuh penyair terkemuka mengisi bagian awal periode itu (sampai kekhalifahan Al-Mutawakil pada 22/338) dengan syair mereka, dan menetapkan gaya baru kehidupan, perlindungan, dan komposisi puitis. Basysyar bin Burd (w. 167/784) adalah anak haram seorang budak, yang dimerdekakan oleh tuannya karena kefasihannya. Dia menciptakan syair pada usia 10 tahun, dan meninggalkan warisan 12.000 syair. Al-Sayyod Al-Himyari (w. 172/789) condong kepada kelompok ‘Ali dan menciptakan 2.300 syair. Dia menolak sumbangan, termasuk dari khalifah. Al-Hasan bin Hanik abu Nuwas (w. 198/811) adalah orang pertama yang membebaskan syair dari aturan dan standar pra-Islam dan Sadr al-Islam, baik isi, artikulasi maupun gayanya. Warisannya yang mencapai lebih dari 13.000 syair masuk dalam setiap kategori syair yang dikenal. Muslim bin al-Walid (w. 209/825) menciptakan syair ketika bekerja sebagai kepala kantor pos Jurjan dan berbakat dalam ghazal .
Perubahan pertama terjadi pada isi syair. Penyair kota zaman baru ini tidak puas dengan reportasi gagasan dari zaman sebelumnya yang dipakai dalam upaya mengislamisasi dan mengarabisasi masyarakat. Di bawah Umayyah, anggur, wanita, dan politik materi absah syair, di bawah ‘Abbasi materi ini menjadi populer dan lazim. Imajinasi juga diperkaya dengan perumpamaan dan kiasan baru, dan penalaran diskursif dengan gagasan dan pengetauan baru, semuanya dapat dimanfaatkan penyair. Selain materi ini, ilmu perkebunan dan tamannya, ilmu perikanan dan air mancur serta arusnya, arsitektur dan istana serta masjidnya membentang di hadapan imajinasi puitis terkaya. Hal ini memberikan pengaruh buruk pada moralitas penyair. Sudah diketahui bagaimana, di bawah Umayyah, penyair belajar menjual bakat kepada pangeran pelindungnya. Di bawah ‘Abbasi, kecenderungan ini bertambah dan syair merosot menjadi pembolehan pada tingkat moral maupun doktrin. Abu Nuwas (w. 198/811) adalah raja penyair-penyair yang tidak bermoral; Ibn al-Muqaffa (w. 108/727) raja penyair-penyair bid’ah.
Penyair yang sukses cepat menjadi kaya raya. Banyak diantaranya yang menjadi orang paling kaya di daerahnya, begitu besar sumbangan dan hadiah yang diberikan kepada penyair ini oleh pelindungnya. Penyair seperti ini juga mempunyai kekuasaan yang besar. Syair Syadif menyebabkan pemimpin ‘Abbasi memusnahkan istana Umayyah. Syair Malik bin Thawq dan Rabi’ah menyebabkan pembatalan hukuman mati atas mereka. Ahli menulis yang menulis untuk khalifah tidak pernah memiliki kekuasaan seperti itu. Syair ada dan diucapkan setiap orang, di setiap tempat, pada setiap kesempatan, baik sebagai komposisi langsung penyair, atau sebagai syair yang dihafal dan dibaca orang lain. Zaman pra Islam mempunyai ‘ukazh dimana penyair berkompetisi setiap tahun. Kerajaan ‘Abbasi mempunyai Al-Marbad di Basrah. Di sini diadakan kompetisi. Di bawah ‘Abbasi, orang Arab begitu mencintai sampai titik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka begitu mengenal syair, sehingga mereka mengenal penyair beserta satu baitnya. Mereka mengenal bait syair hanya dengan menyebut nama penyairnya pada kesempatan yang pas dengan bait tersebut. Syair menghias dinding rumah di dalam maupun di luar, di pintu dan kaca jendela, tirai dan alas duduk, instrumen musik, pakaian dalam dan luar, bahkan sandal dan sepatu. Dengan daun pacar, syair secara permanen tertulis di wajah dan tangan.
Ismail abu al-Attahiyyah (w. 211/827) adalah penjual pot bunga keliling, yang membawa dagangan di punggungnya. Ketika melewati sekelompok anak muda yang membaca syair, dia menantang mereka untuk mengubah bagian lain dari dua atau tiga bait yang dibacanya. Dia mempertaruhkan sebesar nilai dagangannya bila mereka tidak mampu menandinginya. Dia memenangkan taruhan dan menjadi terkenal. Dia menciptakan matra baru, yang cenderung ke kehidupan zuhud, dan tidak mau mengubah ghazal sekalipun khalifah al-Mahdi memerintahkannya. Habib abu Tammam (w. 232/847) mengawali karirnya sebagai penyedia air di masjid di Fusthath (Kairo lama). Ia segera berkelana ke Baghdad dan memperoleh kemasyhuran. Tidak bergeming oleh lebatnya hujan salju di rumah tuan angkatnya, Ibn Salamah, di Khurasan, menulis berdasarkan ingatannya sebuah ikhtisar besar syair pra Islam yang di kenal sebagai Diwan al-Hamasah dan empat jilid syair ciptannya sendiri. Akhirnya, Da’bal al-Khuza’i (w 246/861) adalah penyair paling ditakuti oleh pangeran dan orang awam, karena satirenya. Syairnya dengan segera tersebar, dan reputasi dari sasaran satire syairnya hancur. Dia juga menolak hadiah dan hidup dari pemberian keluarga. Dia mencurahkan limpahan pujian kepada keluarga Nabi.
Penyair paling terkenal periode ini adalah Jalaludin Rumi (w. 283/898). Ia orang pertama yang lebih memprioritaskan makna dan isi daripada artikulasi dan bentuk. Disini pemakalah akan mencoba menjelaskan biografi Jalaludin Rumi beserta karyanya.
D. Biogarfi Jalaludin Rumi
Jalaludin Rumi atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi juga seorang tokoh sufi yang berpengaruh di zamannya. Rumi adalah guru nomor satu Thariqat Maulawiah, sebuah thariqat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Thariqat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Di zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu. Bagi mereka kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, dengan cepat mereka ingkari dan tidak diakui. Padahal menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan Iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat
mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah. Rumi mengatakan, “Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula
memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.

E. Karya jalaludin Rumi
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide. Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah :
jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku.

Daftar Pustaka
Faruqi, Isma’il R. Dan Lois Lamya Al-Faruqi. 2001. Atlas Budaya Islam. Cetakan III. Bandung: Mizan.
http://ms.wikipedia.org/wiki/Jalal_al-Din_Muhammad_Rumi
http://penyair.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar