Jumat, 13 Januari 2012

SEJARAH DESA KEDUNG DALEM

KEDUNG DALEM
Perkawinan Sunan Gunung Jati dengan dewi tala putri Ki Gede Tepak dikaruniai dua orang, yaitu Pangeran Surakaca dan Pangeran Pringgabaya. Pangeran pringgabaya semula hidup di pengembaraannya dijawa tengah, kemudian pulang ke Cirebon. Di tengah perjalanan (dihutan roban pekalongan) ia bertemu dengan pangeran gesang keterunan prabu Brawijaya dari majapahit yang memliki keris bernama si Gagak. Dalam melanjutkan perjalanannya, mereka bertemu dengan ular lempe, ular laut yang sangat berbisa di pantai laut jawa.
Pangeran Pringgabaya berkelahi dengan ular lempe hingga ular tesebut dan dapat dikalahkannya. Setelah dibantingkan, Ular lempe kemudian berubah bentuk menjadi sebuah keris “si lemped”. Sekarang tangkai si lemped berada di desa bayalangu kidul, dan kerisnya di desa kapringan.
Setelah pangeran pringgabaya dan pangerang gesang tiba dikeraton pakungwati Cirebon, mereka di tugaskan untuk tinggal di dua tempat yang berbeda. Pangeran pringgabaya ditugaskan didaerah kapringan (sekarang termasuk kecamatan krangken, indramayu), dan pangeran gesang di gegesik ( sekarang Gegesik kidul, kecamatan Gegesik kabupaten Cirebon), hingga mereka membangun pedukuhan masing-masing.
Pangeran gesang mempunyai tiga orang putra:
1.Pangeran Durakhman ( Ki Ageng Guwa ).
2.Pangerang Jagabaya ( Ki Jagapura).
3.Nyi Mertsari ( Nyi Ageng Gegesik).
Pangeran pringgabaya berputrakan pangeran dayalautan yang menurunkan keturunan yang bernama Ki Maspa. Selanjutnya Ki Maspa mempunyai anak bernama Ki Warsiki. Dengan demikian Ki Warsiki adalah keturunan keempat Sunan Gunung Jati (cicit P. Pringgabaya).
Sudah menjadi tradisi keratin pangkuwati apabila setiapminggu para ki Gede atau putra-putrinya wajib melaksanakan piket untuk menjaga barang-barang jimat di gedung jinem. Ketika pangeran warsiki (ki warsiki)mendapat giliran piket, kebetulan piketnya bersamaan dengan giliran putrid megu anak ki gede megu. Kesempatan piket bersama ini mereka lakukan dengan besenda gurau, bercanda ria diselingi gelak tawa, sehingga menarik perhatian pinangeran keraton dan memandang keduannya yang sedang dimabuk asmara itu melakukan pelanggaran.
Kejadian itu di laporkan para pinarengan kepada sultan. Sultan marah, lalu mereka dinikahkan dan dibuang kesuatu daerah yang disitu ada kolam yang sangat edalam dan ditepinya terdapat “KEDUNG GEMPOL”. (konon merka ditembak dengan senjata rantai dan terbang terbawa senjata itu, kemudian jatuh ditepi kolam yang dalam).
Ki warsiki dan putri megu dikaruniai dua orang anak yaitu:
1.Pangeran Jaka Dolog atau Ki Slonto, tinggal di kapringan.
2.Pangeran Jalaksana, tinggal di penganjang indramayu. Pangeran jalaksana menikah dengan putri penganjang.
Ki warsiki menikah lagi dengan putri bayalangu, tetapi tidak dikaruniai anak. Ki warsiki didamping kedua istrinya hidup bahagia dan tentram, sehingga saat membangun pedukuhan Kedungdalem yang maju dan penduduknya terus bertambah yang berdatangan dari pedukuhan lain, seperti dari Arjawinangun, Gegesik dan karangsembung. Ki warsiki memimpin dengan adil dan bijaksana, senatiasa menjalin hubungan kerja sama dengan pedukuhan lain.
Setiap sultan Cirebon Mbah Kuwu sangkan atau pangeran cakra buana atau disebut juga H. Abdul Imam berkeliling ke daerah, beliau sering menyempatkan singgah di tempat ki warsiki. Jika tiba waktu sholat, beliau mengambil air wudlu di kolam yang dalam itu. Kemudian ki warsiki member nama pedukuhan itu “KEDUNG DALEM”, artinya tempat orang-orang keraton singgah.
1.KEDUNG = KOLAM DALEM = DALAM (jero – Bhs.JAWA)
2.KEDUNG = TEMPAT SINGGAH DALEM = Orang-oarang keraton (abdi dalem)
Desa kedung dalem terletak kira-kira 30 km sebelah barat laut kota Cirebon, dan termasuk wilayah kecamatan GEGESIK, didirikan oleh Bekel Sal ( H. Abdul Majid), pda tahun 1925.
Bekel Sal adalah seorang tuan tanah yang kaya raya. Ia mempunyai tanah yang sangat luas di daerah Karangampel, Kapetakan, Dukuh. Ia sering membayar Upeti kepda Residen Belanda di Cirebon dengan enam kwintal beras ketan dan dua puluh tujuh ekor sapi. Ia mendapat surat keputusan sebagai kepal desa pada 1925 dari residen belanda. Sebelum menjadi kedungdalem, wilyah initerdiri dari 4 bagian daerah, yaitu :
1.Blok Santrok Lor, dulunya termasuk desa gegesik lor.
2.Blok Santrok Kidul, dulunya termasuk desa gegesik wetan
3.Blok Kedung Tengah, dulunya termasuk desa bayalangu kidul.
4.Blok Kedung lor, dulunya termasuk desa bayalangu Lor.
Nama Santrok berasal dari kata(“nyanting”=nyanggrok/menyangkut), yaitu ketika terjadi perng kedongdong banyak yang meninggal dan mayatnya terbawa hanyut di sungai ciwaringin. Mayat-mayat itu tersangkut di suatu tempat yang akhirnya tempat itu disebut Santrog/Santrok. Mayat-mayat itu di kubur dipekuburan Kibuyut Radegan atau kibuyut sar /ki buyut bandung.
Disebut kibuyut bandung atau kibuyut sar karena di tempat itu ( di sebelah sungai ciwaringin kedung dalem ) terdpat kunuran buyut resijan yang berasal dari bandung, dan buyut sar (nyi sar. Nyi sar berasal dari bode, yang keduanya menetap di kedung dalem.

Selasa, 10 Januari 2012

PERKEMBANGAN TEORI-TEORI STRUKTURALISME

Strukturalisme muncul dalam dunia akademis pada paruh kedua abad ke-20, dan tumbuh menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademis berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat. Karya Ferdinand de Saussure tentang linguistik umumnya dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah "strukturalisme" itu sendiri muncul dalam karya-karya Perancis antropolog Claude Lévi-Strauss, dan memperkenalkannya di Perancis dengan "gerakan strukturalis".
Menurut Lash sebagai pangkal tolak kemunculan strukturalisme, post strukturalisme dan post modernisme adalah meluas melalui pemikiran Prancis pada tahun 1960-an. Strukturalisme itu sendiri adalah sebuah reaksi terhadap humanisme Prancis, terutama terhadap eksistensialisme Jean-Paul Sartre.
Strukturalisme dari Strauss kemudian mempengaruhi tokoh pemikir lainnya seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Marxisme struktural dari Nicos Poulantzas. Sebagian besar anggota gerakan ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari gerakan tersebut. Strukturalisme terkait erat dengan semiotika. Dalam perkembangan berikutnya, post-strukturalisme berusaha untuk membedakan diri dari penggunaan sederhana metode struktural. Dekonstruksi adalah sebuah upaya untuk memutuskan hubungan dengan cara berpikir strukturalistik. Beberapa intelektual seperti Julia Kristeva, misalnya, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kemudian menjadi menonjol pasca-strukturalis. Strukturalisme bahkan telah memiliki pengaruh di berbagai tingkatan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk pengaruh besar terhadap di bidang sosiologi.
Strukturalisme adalah sebuah pendekatan terhadap ilmu-ilmu manusia yang berupaya untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem yang kompleks dari bagian-bagian yang saling terkait. Itu dimulai dalam linguistik dengan karya Ferdinand de Saussure (1857-1913), tetapi banyak cendekiawan Prancis dianggap memiliki aplikasi yang lebih luas, dan model segera diubah dan diterapkan pada bidang-bidang lain, seperti antropologi, psikologi, psikoanalisis, sastra teori dan arsitektur. Hal ini mengantarkan strukturalisme tidak hanya metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang selama ini menjadikan eksistensialisme sebagai tumpuan di tahun 1960-an Perancis.
Menurut Alison Assiter, terdapat empat ide umum mengenai strukturalisme yang membentuk 'kecenderungan intelektual'. Pertama, struktur apa yang menentukan posisi setiap unsur dari keseluruhan. Kedua, strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, strukturalis tertarik dalam 'struktural' hukum yang berhubungan dengan hidup berdampingan daripada perubahan. Dan akhirnya struktur adalah 'hal-hal nyata' yang terletak di bawah permukaan atau penampilan makna.
Untuk selanjutnya, teori strukturalisme dengan segala dinamika dan perdebatan yang menyertainya, terus mengalami perkembangan. Jhon Lechte dalam 50 filsuf kontemporer bahkan mengelompokan periodesasi perkembangan teori strukturalisme menjadi, strukturalisme awal, strukturalisme dan post-strukturalisme. Masing-masing tahap perkembangan diwakili oleh tokoh teoritisi seperti pada era strukturalisme awal; Bachelard, Bakhtin, Canguilhem, Cavailles, Freud, Mauss dan Merleau-Ponty. Era strukturalisme di antaranya adalah Althusser, Benveniste, Bourdieu, Chomsky, Dumezil, Genette, Jakobson, Lacan, Levi-Strauss, Metz dan Serres. Sedangkan era pemikiran post-strukturalisme, dimunculkan tokohnya masing-masing Bataille, Deleuze, Deridda, Foucault dan Levinas.
Di antara teoritisi strukturalisme tersebut, Levi-Strauss lebih dikenal dalam karya-karyanya sebagai tokoh aliran strukturalisme. Meskipun harus tetap diakui bahwa dalam perkembangannya, setiap karya Levi-Strauss tidak dapat sepenuhnya membebaskan diri dari pengaruh pemikiran tokoh strukturalis lainnya. Meski terinspirasi kajian strukturalisme dan linguistik dari Saussure tetapi Levi-Strauss memperluas wilayah kajian ke bidang-bidang lain, termasuk di antaranya di bidang antropologi.
Di Prancis, strukturalisme semula berkembang agak tersendat. Namun berkat perjuangan kaum strukturalis dalam menentang gagasan kaum faktualitas yang diwariskan kaum positivisme dan individualitas yang ditekankan eksistensialisme, ternyata strukturalisme mendapatkan tempat dan momentum yang tepat. Bahkan, strukturalisme linguistik pasca-Saussure dan strukturalisme antropologi lambat-laun makin semarak. Belakangan muncul pula Raymond picard sebagai wakil kritik lama dan Roland Barthes sebagai wakil kritik baru.
Ada tiga kecenderungan perkembangan strukturalisme di Prancis; Pertama, kritik strukturalisme dengan tokoh sentral, antara lain, Merleau-Ponty dan Barthes. Kedua, naratologi strukturalis yang bersandar pada gagasan Vladimir Propp dan versus Greimas. Ketiga, deskripsi teks strukturalis-linguistik khasnya lewat gagasan Claude Levis-Strauss dan Michael Riffaterre.
Setelah kemunculannya, teori strukturalisme juga banyak memperoleh kritik dan terjebak dalam ruang perdebatan yang berkepanjangan dari berbagai aspek dan pendekatan. Reaksi terhadap strukturalisme semakin terasa sejak munculnya gagasan post-strukturalis yang diperkenalkan Deridda. Meski di Amerika Deridda dikenal sebagai tokoh post-strukturalis tetapi di Prancis tetap saja ia diposisikan sebagai strukturalis. Kenyataan bahwa tidak ada teori sosial yang bertahan secara kaku dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik di tingkat politik, sosial maupun intelektual. Strukturalisme seiring dengan kemunculan pemikir-pemikir baru yang menjadikannya sebagai wilayah dan basis kajian tidak dapat bebas dari seleksi alami perdebatan teoritik dan metodologi sebagaimana teori sosial lainnya.
Strukturalisme mulai kurang populer dari post-strukturalis dan dekonstruksi terutama karena strukturalis dipandang ahistoris dan terlalu deterministik terhadap kekuatan struktural kemampuan individu untuk bertindak. Saat pergolakan politik tahun 1960-an dan 1970-an (dan khususnya pemberontakan mahasiswa Mei 1968) mulai mempengaruhi akademisi, isu-isu kekuasaan dan perjuangan politik mengalihkan pusat perhatian orang. Tahun 1980-an, dekonstruksi dan penekanannya pada ambiguitas fundamental bahasa - lebih daripada kristalin struktur logis - menjadi justru menjadi lebih populer.
Kritik terhadap teori strukturasi yang berkembang sekaligus menunjukkan bahwa alur perjalanan kemajuan teori-teori sosial justru muncul dari gagasan dan pemikiran teoritik sebelumnya. Gidden misalnya, mengatakan dalam kritiknya terhadap strukturalisme bahwa, bahasa sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrase ketika diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, juga jika hanya secara analogis, implikasinya cukup jauh. Apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan “kode tersembunyi” yang ada dibalik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom di balik parole. “Kode tersembunyi” itulah struktur. Tindakan individual dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Kalau mau mengerti masyarakat kapitalis, misalnya, bidiklah logika-internal kinerja ‘modal’. Ada paralel antara perspektif strukturalis dan fungsionalis, yaitu pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku, waktu, ruang, dan proses adalah soal kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap subjek”.

Pendekatan Pragmatik dan Teori Moral

Teori adalah cara membebaskan karya-karya sastra dari cengkraman ‘sensibilitas beradab’, dan melemparkannya secara terbuka pada semacam analisis dimana secara prinsip semua orang dapat terlibat untuk berpartisipasi.
Abram mengemukakan ada empat model pendekatan terhadap karya sastra. Dijelaskan oleh Abram bahwa model yang memusatkan kajiannya terhadap peran pengarang disebut ekpresif, bila menitik beratkan sorotannya pada pembaca sebagai penyambut dan penghayat atau penikmat sastra disebut pragmatik, yang lebih berorietasi pada aspek referensialnya disebut mimetik, sedangkan yang memberikan perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonomi dengan koherensi intrinsik disebut pendekata objektif.

Pendekatan Pragmatik
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan pendekatan pragmatik. Pendekatan Pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Pragmatik adalah cabang penelitian yang kearah aspek kegunaan sastra. Dalam aspek
pragmatik, teks sastra dikatakan berkualitas apabila memenuhi keinginan pembaca.
Penelitian pragmatik sastra memang masih jarang dilakukan, tidak seperti halnya bidang pragmatik bahasa yang telah banyak dikenal luas. Akibatnya, kita baru menemukan beberapa bagian lepas dan masih sepotong-sepotong tentang pendekatan pragmatik penelitian sastra lewat gagasan Horatius, yang kemudian dikembangkan lagi oleh poe, Wellek dan Weren, Abram, dan Teeuw. Muara dari pandangan-pandangan mereka adalah berupaya menjelaskan tentang bagaimana fungsi karya sastra diciptakan.
Menurut Pradopo, pendekata pragmatik adalah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Dalam hal ini tujuan tersebut dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama, maupun tujuan yang lain. Dalam praktiknya pendekatan ini cenderung menilai karya sastra menurut keberhasilannya dalam mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya.
Dalam praktiknya, pendekatan ini mengkaji dan memahami karya sastra berdasarkan fungsinya untuk memberikan pendidikan (ajaran) moral, agama, maupun fungsi sosial lainnya. Semakin banyak nilai pendidikan moral dan atau agama yang terdapat dalam karya sastra dan berguna bagi pembacanya, makin tinggi nilai karya sastra tersebut.

Teori Moral
Di samping karya sastra dapat dibahas dan dikritik berdasarkan sejumlah pendekatan yang telah diuraikan sebelumnya, karya sastra juga dapat dibahas dan dikritik dengan pendekatan atau teori moral moral. Sejauh mana sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas kepada pembacanya? Pendekatan ini sebenarnya termasuk tipe pendekatan pragmatik karena membahas hubungan antara karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan moral apa yang disampaiakan oleh karya sastra kepada pembaca.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang dalam kajian khusus masih memerlukan teori-teori bantu yang lain untuk menentukan kajian yang dianggap penting oleh peneliti dan untuk menentukan suatu objek tertentu (khusus), begitu pula teori moral dalam perjalanannya tetap masih membutuhkan pendekatan pragmatik sebagai suatu sudut pandang dalam menganalisis sebuah karya sastra, lebih dari itu bahwa pendekatan pragmatik dan teori moral sama-sama membahas hubungan antara karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan moral apa yang disampaikan oleh karya sastra kepada pembaca. Untuk memudahkan dalam kajian ini, peneliti berfokus pada kajian moral yaitu pesan moral apa sajakah yang disampaiakan oleh karya sastra kepada pembaca dalam novel “Naib Izrail”. Dalam penelitian ini penulis menggunakan bantuan teori moral yaitu teori moral yang diusung oleh Burhan Nurgiyantoro sebagai alat pembedahnya.
Dalam teori ini bahwasanya moral dalam karya sastra, atau hikmah yang diperoleh pembaca lewat sastra, selalu dalam penertian yang baik. Dengan demikian, jika dalam sebuah karya ditampilkan sikap dan tingkah laku tokoh-tokoh yang kurang terpuji, baik mereka berlaku sebagai tokoh antagonis maupun protagonis, tidaklah berarti bahwa pengarang menyarankan pembaca untuk bersikap dan bertindak secara demikian. Sikap dan tingkah laku tokoh tersebut hanyalah model, model yang kurang baik, yang sengaja ditampilkan justru agar tidak diikuti, atau minimal tidak dicenderungi, oleh pembaca. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah sendiri dari cerita tentang tokoh “jahat” itu. Eksistensi sesuatu yang baik, biasanya, justru akan lebih mencolok jika dikonfrontasikan dengan yang sebaliknya.
Menurut KBBI secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diteriama umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti, susila. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Dalam kaitannya dengan teori kesastraan, menurut Burhan Nurgiyantoro, Moral dapat berupa pesan religiusitas dan agama dan berupa pesan kritik sosial. Dari segi bentuk penyampainnya, pesan/amanat tersebut dapat berbentuk penyampain pesan secara langsung atau penyampain pesan secara tak langsung. Pertama, “penyampaian pesan secara langsung” Bentuk penyampain pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan, identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh (-tokoh) cerita ynag bersifat “memberi tahu” atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam enyampaian pesan moral. Artinya, moral yang ingin disampaikan, atau diajarkan, kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit. Pengarang, dalam hal ini, tampak besifat menggurui pembaca, secra langsung memberi nasihat dan petuah.
Bila pesan secara langsung tersebut berada di luar cerita, hubungan pengarang (addresser) dengan pembaca (addresse) dalam model ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Pengarang Amanat Pembaca
(Addresser) (Message) (Addresse)

Bila pesan secara langsung tersebut ada dalam cerita, maka komunikasi pengarang-pembaca itu akan terjadi dalam dua jalur seperti terlihat dalam gambar berikut.

Pengarang Amanat Pembaca

ditafsirkan
oleh

Amanat Amanat

dituangksn
kedalam
Teks

Kedua, bentuk “penyampain pesan secara tidak langsung”. Menurut Nurgiyantoro, cirinya adalah tersirat dalam cerita dan berpadu secara komprehensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau pengarang ingin menyampaiakan sesuatu, ia tidak melakukannya dengan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Bagaimanapun juga, karya sastra yang berbentuk cerita hadir kepada pembaca pertama-tama sebagai cerita. Kalau ingin disampaikan ke pembaca yang sebenarnya inilah tjuan pokok pengarang hal ini dilakukan secara tersirat dan terserah pada penafsiran pembaca. Cara ini justru lebih diterima sebab mampu memaksa pembaca untuk merenungkan dan menghayatinya lebih intensif.
Jika dibandingkan dengan teknik pelukisan watak tokoh, cara ini sejalan dengan teknik ragaan, Showing. Yang ditampilkan dalam cerita adalah peristiwa-peristiwa, konflik, sikap dan tingkah laku para tokoh dalam menghadapi peristiwa dan konflik itu, baik yang terlihat dalam tingkah laku verbal, fisik, maupun yang hanya terjadi dalam pikoran dan perasaannya. Melalui berbagai hal tersebut, message, pesan moral disalurkan. Sebaliknya, dilihat dari pembaca, jika ingin memahami dan atau menafsirkan pesan itu, haruslah ia melakuknnya berdasarkan cerita, sikap dan tingkah laku para tokoh tersebut. Penyampaian tidak langsung ini menurut Leech & Short via Nurgiyantoro.

Pengarang ---------------------------------------------- Pembaca
ditafsirkan
oleh


AMANAT AMANAT

Dituangkan
Kedalam _ _ _ _ TEKS _ _

Dengan demikian, penyampain tidak langsung berkaitan dengan interpretasi pembaca. Model ini lebih mendekati hakekat sastra sebagai media komunikasi secara tidak langsung.Justru, melalui penafsiran pembaca yang variatif, dinamis, dan ditentukan reportoire masing-masing pembaca itulah, karya sastra bertafsir majemuk yang sesuai dengan hakekat sastra itu sendiri.
Bekaitan dengan penelitian ini, pesan moral yang disampaikan pengarang dalam novel ini ternyata bersifat tidak langsung. Oleh karena itu penulis berfokus pada kajian moral yang sifat pesan/amanatnya tidak langsung. Karenanya, proses interpretasi yang penulis lakukan dalam penelitian ini didasarkan pada sikap dan prilaku para tokoh yang pesan moralnya penulis tangkap sesuai resepsi dan reportoire penulis.
Adapun dasar pokok pendekatan moral ini adalah:
a. Secara umum moral menyaran pada ajaran tentang baik dan buruk yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan ini melihat dari aspek perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya; akhlak, budi pekerti dan susila.
b. Aspek religius dan kritik sosial, merupakan tujuan utama bagi para pembaca, karena nilai sastra yang tinggi itu apabila sastra itu mampu mencapai tujuan yang baik bagi seseorang sehingga pembaca menjadikannya sebagai suri tauladan.
c. Pendekatan ini memiliki perhatian yang besar terhadap respon penyampaian pesan moral yang menyentuh pembaca. Oleh karenanya, pembaca mempunyai peran penting dalam menilai sebuah karya sastra dari aspek bermanfaat atau tidaknya.
d. Pendekatan ini merupakan jawaban dari persoalan-pesoalan yang berkembang dalam masyarakat yang terkait dengan moral sehingga bagi para pembaca dapat mengamati dan mengambil kesimpulan dari karya sastra, untuk dijadikan acuan dalam menyikapi dan menjalani hidup yang multi kultur. Oleh karena itu, teori ini menetapkan bahwa sastra memiliki harkat, martabat dan nilai yang lebih tinggi dari nilai seni yang bersifat umum.
Pendekatan ini berlaku dengan tujuan; seluruh persoalan yang mencakup harkat dan martabat manusia, secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat dibedakan kedalam persoalan; hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk hubungan dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhannya. Agar dari kesemua itu dapat terwujud baik, dengan demikian hadirnya sastra, mampu memberikan motifasi lebih untuk mencapai kehidupan masyarakat yang harmonis dengan akhlak yang baik.

Pusi Nizar Qobani

أحلى الخبر

كتبتُ (أُحبّكِ) فوقَ جدار القَمَرْ

(أُحبّكِ جداً)
كما لا أحبّكِ يوماً بشَرْ
ألمْ تقرأيها؟
بخطّ يدي
فوق سُور القَمَرْ
وفوق كراسي الحديقةِ..
فوقَ جذوع الشَجَرْ
وفوق السنابلِ
فوق الجداولِ
فوقَ الثَمَرْ..
وفوق الكواكب تمسح عنها
غُبارَ السَفَرْ..
*
حفرتُ (أُحبّكِ) فوق عقيق السَحَرْ
حفرتُ حدودَ السماءِ
حفرتُ القَدَرْ..
ألم تُبْصريها؟
على وَرَقات الزهَرْ
على الجسر، والنهر، والمنحدرْ
على صَدَفاتِ البحار
على قَطَراتِ المطرْ
ألم تَلْمحيها؟
على كلّ غصنٍ
وكل حصاةٍ، وكلّ حجرْ
*
كتبتُ على دفتر الشمس
أحلى خبرْ..
(أُحبّكِ جداً)
فليتكِ كنتِ قرأتِ الخبرْ




Ditulis (cinta) pada dinding bulan
(Aku juga mencintaimu)
Hari-hari tidak mencintai manusia
Apakah tidak membacanya?
dengan tangan saya sendiri
Selama pagar di bulan
Selama kursi dan taman ..
Selama batang pohon
Dan di atas telinga
selama Tabel
Selama buah ..
Dan mengusapnya di atas planet
Debu perjalanan ..
*
Menggali (cinta) pada Agate sihir
Dibor dalam langit
Menggali banyak ..
Tbesreha rasa sakit?
Koran-koran cor
Pada jembatan dan sungai, dan lereng
Squamae di laut
Tetesan hujan
Tmahaha rasa sakit?
Pada setiap cabang
Setiap batu, setiap batu
*
Saya menulis buku matahari
Uretra berita ..
(Aku juga mencintaimu)
Fletk Anda membaca berita

Senin, 09 Januari 2012

STRUKTURALISME OTONOM

STRUKTURALISME OTONOM
Strukturalisme otonom memusatkan pada perhatiannya pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya menyerahkan pemberian makna karya sastra tersebut terhadap eksistensi karya sastra itu sendiri tanpa mengaitkan unsur yang adas di luar struktur signifikasinya.
Strukturalisme berpendapat bahwa untuk menanggapi karya sastra secara objektif haruslah berdasarkan teks karya sendiri (Sayuti, 2001: 66-69). Pengkajian terhadapnya hendaknya diarahkan pada bagian-bagian karya yang menyangga keseluruhan, dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu merupakan bagian-bagian. Pandangan ini merupakan reaksi dari pandangan mimesis dan romantik yang menekankan karya sebagai tiruan objek-objek di luarnya, dan oleh karena itu, penilaian lebih menekankan pada aspek ekspresifitas. Maksudnya, lebih menekankan pada biografi pengarang dan sejarah karya sastra.
Terdapat tiga gagasan pokok yang termuat dalam teori struktur (Peaget dalam Jabrohim, 2001: 56). Ketiga unsur tersebut adalah pertama, gagasan keseluruhan (wholeness) yang dapat diartikan sebagai bagian-bagian atau analisirnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan baik keseluruhan struktur maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu sebuah struktur menyanggupi prosedur transformasi yang terus-menerus sehingga memungkinkan pembentukan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (self regulation), yaitu tidak memerlukan hal-hal yang berasal dari luar dirinya untuk mempertahankan transformasinya.
Suatu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dalam Suwondo, 2001: 55). Pendapat ini mengisyaratkan bahwa untuk memahami makna, karya sastra harus terlepas dari latar belakang sejarah,niat penulis, dan lepas dari efek pembacanya.
Strukturalisme adalah cara berfikir tentang dunia yang dikaitkan dengan persepsi dan deskripsi struktur (Hawks dalam Suwondo, 2001: 55-56). Pada hakikatnya dunia ini lebih tersusun dari hubungan-hubungan daripada benda-bendanya. Dalam kesatuan hubungan tersebut, setiap unsur atau analisirnya tidak memiliki maknanya sendiri-sendiri, kecuali hubungan dengan analisir lain sesuai dengan posisinya di dalam struktur.
Dalam perkembangannya pendekatan ini dirasa kurang valid dalam pemberian makna terhadap karya sastra. Apabila sastra hanya dipahami dari unsur intrinsiknya saja, maka karya sastra dianggap lepas dari konteks sosialnya. Padahal pada hakikatnya sastra selalu berkaitan dengan masyarakat dan sejarah yang melingkupi penciptaan karya tersebut. Oleh karena itu pendapat kaum strukturalisme murni/ otonom banyak mendapat kritikan oleh penganut strukturalisme genetik.

SOSIOLOGI SASTRA

SOSIOLOGI SASTRA
1. Pengantar Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya. Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178). Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. 2. Sejarah Pertumbuhan Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'. Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15). Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy. Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman. Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah. Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial. Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra. 3. Teori Sastra Marxis Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178). Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar. Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme. 4. George Lukacs: Sastra Sebagai Cermin George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27). Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah. 5. Bertold Brecht: Efek Alienasi Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terhakar jiwanya ketika membaca buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan 'katarsis' (pelepasan hehan) perasaan. Menurut Brecht, dramawan bendaknya menghindari alur yang dihuhungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton jangan ditidurkan dengan ilusi-ilusi palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32). 6. Aliran Frankfurt Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik" (dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37). Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avant Garde. Seni-seni populer sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi). Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi. 7. Teori-Teori Neomarxisme Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno. Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135). 1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata. 2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan memang terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh. 3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda. 4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya. Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita tidak hanya sekedar ingin menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan kaum New Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang khusus. Dalam bukunya The Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981), Jameson mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak merupakan metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti: psikoanalisis, kritik mitos, stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu pandangan politik yang absolut. Dasar pandangannya adalah bahwa setiap teks mengandung resonansi sosial, historis, dan polios. Dengan persepsi bahwa cerita hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang hakiki, maka pentinglah analisis mengenai 'ketaksadaran politis' dalam teks-teks sastra. Dalam setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman dialektikal pun sifatnya tidak mutlak. Metode dialektika menempatkan karya sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas masyarakatnya. Jameson mengungkapkan kekecewaannya terhadap paradigma dan ohsesi intelektual paham strukturalisme selama kurun abad kedua puluh, yang ingin memikirkan persoalan-persoalan hidup dan totalitasnya melalui sarana bahasa dalam teks sastra (Eagleton, 1983:97). Menurut dia, bahasa hanya akan menjadi semacam penjara bagi persoalan hidup dan totalitasnya karena hidup dan permasalahannya terlalu luas untuk diwadahi oleh sarana bahasa. Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu merupakan bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian bentuk dan struktur karya individual harus selalu dipahami dalam dimensi sejarah, yang secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi. Sekalipun faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam, namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi dan efek-efeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya, ideologi, filsafat, agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara. Manusia selalu berada dalam situasi 'ketaksadaran politik. Teks-teks sastra pun mengandung ketaksadaran politik, yang menawarkan strategi bagi pengbilangan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang individual seolah dihius oleh ketaksadaran politik ini, sehingga dia secara tidak sadar mengungkapkan modus-modus heterogenitas di luar teks. Heterogenitas sosial mengakibatkan keberagaman teks. Dengan demikian tidak ada suatu kerangka referensi yang pasti dan mutlak yang diperlukan sebagai model acuan bagi eksplikasi tekstual. Setiap teks membutuhkan kategori-kategori eksplikasi tertentu sesuai dengan kekhususannya, dan sifatnya pun hanya sekedar menggambarkan saat tertentu. Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha meng-hidupkan kembali kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif terhadap tradisi kritik Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra, menurut dia, adalah mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata (Selden, 1991:43). Pada bagian penutup bukunyaLiterary Theory: An Introduction (1985:194), Eagleton menyebut teori-teori sastra modem yang 'murni' sebagai mitos airaftemik yang melarikan diri dari kondisi huruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru menjadi pelarian dari realitas menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka bukannya terlihat dengan situasi konkret manusia, tetapi melarikan diri kepada puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh, bukannya terpecah-pecah), kebenaranabadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos, bahasa, dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih merupakan penipuan. Secara ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scrunity (= peneliti yang cermat), yang sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd (Culler, 1988:57-68). Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke dalam marginalitas sosial politik. Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan bermasyarakat yang meli-hatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra harus mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara vital terlihat dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran abstrak (1985:196). Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraan dan menempatkan ideologi yang berperan membentuk subjektivitas pembaca, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek politis tertentu yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991:45). Dia melinat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada relevansinya sama sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih memperkuat sistem-sistem kekuasaan daripada menentangnya. 8 Rangkuman Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels. Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra. Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.

Minggu, 08 Januari 2012

TEORI SEMIOTIK C.S PIERCE DALAM PUISI AD-DAHRU KARYA MAHMUD SHAMI BASHA

A.PENDAHULUAN Puisi sebagai salah satu karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji dari segi struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-saran kepuitisanya. Meskipun demikian, orang tidak dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Menurut Luxembrug (1984:175), taks puisi adalah taks-taks monolog yang isinya pertama-tama tidak merupakan sebuah alur, disamping itu taks puisi disajikan dengan tipografi tertentu. Dalam puisi Ad-Dahru karya Mahmud Shami Basha ini setidaknya kita bisa mengambil hikmah tentang bagai mana kita harus bersifat selektif dengan cara meninggalkan keraguan dan mengambil kepastian dalam berfikir, bersikap pasti atas segala kesulitan dalam melangkah. Mengefesiensikan waktu dalam kehidupan bukanlah hal yang mudah mengingat globalisasi dunia yang banyak menawarkan hal-hal yang bisa membuat kita bermalas-malasan B. PEMBAHASAN  Mengenal C.S Pierce Pierce lahir di negri paman sam (1839-1914), sebagai ahli semiotik, logika, dan matematika. Beliau satu angkatan dengan Sa Ussure. Pierce menawarkan konsep triadik sehingga terjadi jeda oposisi, istilah semiotika itu berasal dari Peirce, Pierce juga yang kemudian megembangkan teori umum tanda-tanda. Menurut Pierce semiotik adalah studi tentang tanda dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang berkaitan dengannya seperti: fungsi-fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda yang lain, proses pengirimannya dan penerimaannya. Mengigat luasnya studi ini, maka semiotik dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu: sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dilihat dari faktor yang menentukan adanya tanda, maka tanda dibedakan sebagai berikut: 1. Repsentamen, ground, tanda itu sendiri, sebagai perwujudan gejala umum: • Qualisigns, terbentuk oleh kwalitas; warna hijau. • Sinsigns, tokens, terbentuk melalui realitas fisik; rambu lalu lintas. • Legsigns, type, berupa hukum; suara wasit dalam pertandingan. 2. Object (designatum, denotatum, referant), yaitu apa yang diacu: • Ikon, hubungan tanda dengan objek karena serupa, misalnya foto. • Indeks, hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, seprti: asap dan api. • Simbol, hubungan tanda dengan objek karena kesepakatan, seperti: bendera. 3. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima: • Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep. • Dicisigns, dicent digns, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif. • Argument, tanda nampak sebagai nalar; proposisi. Ada dua hal yang menyebabkan semiotika menarik bagi siapapun. Pertama, faktanya adalah telah terbukti semiotika memiliki wilayah kajian aplikatif yang mencakup semua disiplin. Kedua, hakikat semiotika sebagai ilmu yang menelaah produksi dan interpretasi tanda membuatnya sudah menarik sejak awal. Hakikat itu membawa semiotika pada pemahaman bahwa sesuatu yang disebut realitas itu tidak lain dari representasi. Artinya, realitas selalu merupakan versi seseorang atau suatu lembaga mengenai perkara yang tersaji sebagai realitas itu. Pada gilirannya, bisa kita pahami bila semiotika mengatakan bahwa apa yang dianggap realitas bagi seseorang belum tentu demikian bagi orang lain.  Analisi Dari Puisi Mahmud Shami Basha. Dari beberapa bait puisi itu mari kita bahas secara semiotik, ini mungkin inti data relevan dari taks beberapa bait puisi Mahmud Shami Basha. “Janganlah seperti air laut yang keruh, yang bisa menjadikan akhlak kita kotor dan tamak”, terbentuk melalui realitas fisik. Jadi air laut yang keruh itu bisa di ibaratkan seprti otak/fikiran manusia, kita tau jika air laut keruh itu kotor, bisa dikatakan pikiran kita juga kotor karena ketamakan itu. Dari kutipan kalimat diatas kita dituntut untuk berfikir secara positif. “Kita tidak akan pernah mengetahui peristiwa yang belum terjadi, maka janganlah tertipu oleh kehidupan yang selalu menipu”. Hubungan tanda dengan objek karena sebab akibat, mungkin maksud dari pernyataan ini kita bisa bersikap lebih dewasa dalam menentukan arah kehidupan yang kita jalani, seperti strategi dalam permainan sepak bola, semuah sudah memiliki kemampuan diatas rata-rata tapi pra pemain masih butuh bimbingan untuk bisa mencetak gol, diatas lapangan para pemain paham apa yang seharusnya dia lakukan, tapi disamping itu mereka masih butuh taktik lagi dari seorang manager. Mungkin bisa di ibartkan demikian tentang bagaiman cara menjalani hidup supaya tidak tergelincir dalam tipu muslihat. Kita masih butuh bimbingan dari orang tua, para dosen/guru supaya kita tidak melakukan kesalahan dalam mengambil langkah demi memahami apa tindakan kita yang harus dijalani. “Terkadang waktu menipu dengan cita-cita yang menggembirakan, sedangkan umur kita bertambah dan hari-hari banyak menipu”, dalam bait itu kita seolah-olah terbawa dalam kesenangan belaka dan tidak mneyadari bahwa kehidupan yang sesungguhnya terus berjalan, bahkan kehidupan itu sendiri bisa menipu kita jika kita sendiri tak menyadarinya. Mungkin menurut C.S Pierce ini digolongkan dalam sistem tanda Legsigns, type, berupa hukum, dimana titik kelemahan kita ada pada ketidak sadaran kita sendiri dalam menjalni hidup. Tanda dalam bait itu kalo kita pahami berarti kita harus memanfaatkan waktu dalam keadaan apapun, tidak kesulitan dan mudah mengambil keputusan. “Jangan menyia-nyiakan waktu yang berjalan, itu berbahaya, karena kita tidak tau apa yang akan datang dan berlalu”. Masih ingat teori S.C Pierce tentang pembahasan Object (designatum, denotatum, referant)? Beliau telah membeberkan banyak penjelasan tentang pembagian sistem tanda. Itu berarti makna tanda dari arti tersebut kita harus berbuat pasti dalam menjalani waktu yang terus berlalu, langkah kita pasti dan tidak ragu-ragu, karean waktu tidak dapat terulang kembali. “Orang-orang yang sombong yang tertipu oleh kesombongannya, semoga harimu dipenuhi oleh keimanan yang bermanfaat buat kehidupan”. Harapan dari pengarang puisi ini mungkin bagi orang yang sombong yang melewatkan waktunya dengan sia-sia semoga sadar apa yang sudah dijalani selama ini. Pemahaman ini kita bisa mengutip dari kata “tertipu oleh kesombongannya”, disitu sangat jelas ditunjukna bagi orang yang tidak berfkir secara positif, dan akibat dari tidak berfikir positif maka ganjarannya ia terlalu menikmati hidup yang konyol yang tidak ada artinya dalam waktu yang ia lewati. “hidup itu seperti baju yang pasti dilepaskannya, dan setiap baju apabila dicuci pasti dilepas”. Ya sangat benar, kita hidup baju, baju disini simbol cara berfikir yang positif/efesien, tidak kotor dan tidak sombong, jika itu terjadi pada diri kita maka kita bisa menyadarkan diri tentang apa yang telah kita lewti dalam hidup ini.Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. C.KESIMPULAN Dalam puisi Ad-Dahru karya Mahmud Shami Basha kita dapat memahami apa yang disampaikan pengarang dalam puisi Ad-dahru tentang bagaiman kita harus disiplin dalam memanfaatkan waktu dalam kehidupan kita, jangan sampai waktu yang terus berputar terlewati dengan sia-sia, disisi lain kita juga harus bisa berfikir efesien untuk menjalani waktu ini, bersikap yang pasti tidak ragu-ragu dalam melangkah. Semiotika berarti studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia.Pemahaman dilakukan oleh mahzab Stoik dan kaum Epikurean di Athena sekitar abad ke-3 SM, khususnya oleh filsuf Philodemus, dalam kaitannya dengan perbedaan antara tanda alami dan tanda konvensional. Mungkin setidaknya kita dapat memahami sedikit tentang puisi Ad-Dahru jika dikaji dengan teori semiotik C.S Pierce, secara tidak langsung kita sendiri kadang tidak memahami sistem tanda yang sudah dijelaskan didalam sekeliling kehidupan kita. DAFTAR PUSTAKA Kutha Ratna, nyoman. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Djoko Pradoko, Rachmat.1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta. Gadja Madah University Press. Kutha Ratna, nyoman. 2009. Teori, metode, dan teknik penelitian sastra. Yogyakarta. Pustaka pelajar.

Pemikiran Ar Rumani Terhadap I'jaz

I. Pendahuluan Al-Qur'an adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw yang harus dipahami secara benar oleh setiap muslim. Oleh sebab itu kajian terhadap i'jaz al- Qur'an penting dilakukan. Selain sebagai prinsip elementer dalam kenabian, i'jaz al-Qur'an juga dibutuhkan dalam rangka mengetahui maksud firman Allah Swt. Signifikansi mukjizat tersebut bagi muslim adalah untuk membuktikan sumber keaslian kitab suci dan memelihara otoritas secara otentik dalam hal ini wahyu Ilahi. Para ulama dari satu generasi ke generasi yang lain telah lama membahas di mana sebenarnya letak kemukjizatan al-Qur'an tersebut. Kata I’jaz adalah masdar dari kata ‘ajz artinya lemah. Adapun maksud dari I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi Mughammad SAW dalam tugas kerasulannya dengan menampakkan kelemahan masyarakat Arab dan generasi-generasi berikutnya untuk menentangnya. Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah dan tidak percaya akan risalah Nabi SAW ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka sungguh pun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi mereka minta untuk menandingi Al-Qur’an dalam tiga tahapan : 1. Mendatangkan semisal Al-Qur’an secara keseluruhan. Sebagaimana di jelaskan pada surat Al-Isra’ayat88 :“Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” 2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat ada dalam Al-Qur’an, sebagaimanadijelaskandalamsuratHudayat13 : “Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an.” Katakanlah, kalau demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang di buat-buat menyamainya, dan pangillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orangyangbenar” 3. Mendatangkan satu surat saja yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat23: “Dan jika tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami {Muhammad}, buatlah satu surat saja semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. Disini pemakalah akan mencoba bagaimana pemikiran Ar Rummani terhadap ijaz alquran yang mempunyai karya ilmiah terhadap keunikan al quran. II. Isi Mengenal Ar Rummani Di antara pemikir itu adalah al-Rummani, pengarang kitab al-Nukat fi I’jaz al-Quran, salah satu karya ilmiah pertama yang menggunakan kata i’jaz dalam judulnya. Masalah utama yang dibahas dalam buku itu adalah pembuktian keunikan balaghah al-quran. Al-Rummani yang berpaham mu’tazilah berpandangan bahwa ide i’jaz memiliki tujuh segi, yaitu: 1.Tidak tertandinginya al-Quran, meski banyak faktor yang mendorong untuk menandinginya. 2.Tantangan mukjizat besar al-Quran yang berlaku untuk umum. 3.Al-Shorfah, yakni Allah memalingkan manusia dari menandingi al-Quran. 4.Balaghah al-Quran, yaitu kefasihan dan pengaruh estetikanya yang efektif. 5.Terdapatnya informasi dan berita yang benar tentang peristiwa masa depan. 6.Karakter al-Quran yang menyalahi kebiasaan, bukan puisi bukan prosa. 7. Pembandingan al-Quran dengan segala mukjizat yang pernah dikenal oleh agama lain. Al-Rummani tidak menjelaskan secara rinci dan panjang lebar ketujuh segi i’jaz tersebut kecuali tentang balaghah al-Quran. Pertama ia mendefinisikan balaghah sebagai berikut: “penyampaian makna ke dalam hati dalam bentuk lafal yang paling indah. Kemudian dilanjutkan dengan menyebutkan unsur-unsur balaghah yang berjumlah sepuluh, yaitu: a) al-ijaz, b) al-Tasybih, c) al- Ijaz (Kemukjizatan) Al-Qur’an Kata mukjizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah).I’jaz dapat diartikan mukjizat, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. I’jazul Qur’an adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia, baik secara terpisah maupun berkelompok-kelompok, untuk bisa mendatangkan minimal yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Qur’an itu meliputi tiga aspek, yaitu : aspek bahasa (sastra, badi’, balagah/ kefasihan), aspek ilmiah (science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri’ (penetapan hukum syariat). Muhammad Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut: 1.Susunan kalima nya indah. 2.Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab. 3.Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa menyamai Al-Qur’an, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai sekarang ini. 4.Bentuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian memuat detail rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia. 5.Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal semata-mata. 6.Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science). 7.Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Qur’an. 8.Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya. 9. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya. 1.Macam-macam I’jaz (Mukjizat) Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa.mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka merisalahkannya. Perahu Nabi Nuh yang dibuat dia atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang sedemikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s. dalam kobaran api yang sangat besar, berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya itu bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sifat indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di mana dan kapan pun. 2.Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an a. Gaya Bahasa Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan, Umar bin Abu Thalib pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apapun. b. Susunan Kalimat Kendati pun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi, tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah.di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada ucapan manusia. Dalam Al-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih yang disusun kedalam bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari apa yang dibuat oleh para penyair atau sastrawan. Dapat dilihat dari satu contoh dalam surat Al-Qariah ayat 5, Allah berfirman : “Dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hamburkan” c. Hukum illahi yang sempurna Al-Qur’an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun, undang-undang ekonomi, politik, social dan kemasyarakatan,serta hukum-hukum ibadah. Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah. Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni: secara global (perinciannya diserahkan kepada Mujtahid) dan secara terperinci (berkaiatan dengan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan) d. Ketelitian Redaksinya Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :  Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya :  Al-Hayah (hidup) dan Al-Maut (mati), masing-masing sebanyak 145 kali  An-Naf (manfaat) dan Al-Madharah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali  Al-Har (panas) dan Al-Bard (dingin) sebanyak 4 kali  As-Shalihat (kebajikan) danAs-Syyiat (keburukan) sebanyak masing-masing 167 kali  Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan Adh-dhiq (kesempitan/kekesalan) sebanyak masing-msing 13 kali Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya a. Al-harts dan Az-zira’ah (membajak/bertani) masing-masing 14 kali b. Al-‘ushb dan Adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing 27 kali c. Adh-dhaulun dan Al-mawta (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing 17 kali e. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya a. Al-infaq (infaq) dengan Ar-ridha (kerelaan) masing-masing 73 kali b. Al-bukhl (kekikiran) dengan Al-hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali c. Al-kafirun(orang- orang kafir) dengan An-nar/Al-ihraq (neraka/pembakaran) masing-masing 154 kali f. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya a. Al-israf (pemborosan dengan As-sur’ah (ketergesaan) masing-masing 23 kali b. Al-maw’izhah (nasihat/petuah) dengan Al-lisan (lidah) masing-masing 25 kali c. Al-asra (tawanan) dengan Al-harb (perang) masing-masing 6 kali g. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus a. Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun. b. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al- Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat. c. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau (nadzir pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 5189 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518. e. Berita tentang hal-hal yang gaib Sebagaian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita-berita gaib. Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 : “Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami” Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19 tepatnya. f. Isyarat-isyarat ilmiah Banyak sekali isyarat ilmiah yang di temukan dalam Al-Qur’an, misalnya : a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah surat Yunus: 5 “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah {tempat-tempat} bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan {waktu}. Allah tidak menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda {kebesaran-Nya} kepada orang-orang yang mengetahui}” b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas.Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 25 c. Perbedaan sidik jari manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 4 d. Aroma atau bau manusia berbeda-beda. Al-Qur’an surat Yusuf ayat 94 e. Masa penyusunan yang tepat dan masa kehamilan minimal, Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233 f. Adanya nurani {superego} dan bawah sadar manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 14 g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Al-Qur’an surat An-nisa ayat 56: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana” istiarah, d) al-Ta’alum, e) al-Fawashil, f) al-Tajanus, g) al-Tashrif, h) al-Tadhmin, i) al-Mubalaghah, j) Husn al-bayan III. Penutup Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Dari berbagi penjelasan di atas tentang Ar Rummani dan masalah macam Ijaz, kita dapat mengetahui bahwa Al-Rummani yang berpaham mu’tazilah berpandangan bahwa ide i’jaz memiliki tujuh segi.

Sabtu, 07 Januari 2012

Edisi Perang Salib

BAB I PENDAHULUAN Perang Salib berlangsung selama 2 abad, antara abad ke-11 dan ke-13, yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Sejak tahun 632 melakukan ekspansi, bukan saja di Syiria dan Asia Kecil, tetapi juga di Spanyol dan Sicilia. Disebut Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai simbol pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem) dari tangan-tangan orang Islam. Pendapat mengenai periodesasi Perang Salib para sejarahwan saling berbeda dalam menetapkannya. Prof. Ahmad Syalabi membagi periodesasi Perang Salib atas tujuh periode. Sementara Philip K. Hitti memandang Perang Salib berlangsung terus menerus dengan kelompok-kelompok yang bervariasi, kadang-kadang berskala besar dan tidak jarang pula berskala kecil. Meskipun demikian, Philip K. Hitti berusaha membuat periodesasi Perang Salib dengan menyederhanakan pembagiannya ke dalam tiga periode. Pertama, disebut periode penaklukan (1096-1144) jalinan kerjasama antara Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II berhasil membangkitan semangat umat Kristen, yang utama ketika pidato Paus Urbanus II pada Konsiliclerment tanggal 26 November 1095. Pidato ini bergema ke seluruh penjuru Eropa yang mengakibatkan seluruh negara Kristen mempersiapkan berbagai bantuan untuk mengadakan penyerbuan. Dan pada periode ini kemenangan berpihak kepada pasukan Salib dan telah mengubah peta dunia Islam dan situasi di kawasan itu . Kedua, disebut periode reaksi umat Islam (1144-1192) jatuhnya beberapa wilayah kekuasaan Islam ke tangan kaum Salib membangkitkan kesadaran kaum Muslimin untuk menghimpun kekuatan guna menghadapi pasukan Salib yang dikomando oleh Imaduddin Zangi, Gubernur Mosul, yang setelah itu diganti dengan putranya Nuruddin Zangi. Kota-kota kecil dibebaskannya dari kaum Salib, antara lain: Damaskus, Antiokia, dan Mesir. Ketiga keberhasilan kaum Muslimin meraih banyak kemenangan terutama setelah munculnya Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (Saladin) di Mesir yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Dan pada bulan Shafar 589/Februari 1193 Salahuddin al-Ayyubi wafat yang sebelumnya telah menyepakati suatu perjanjian dengan kaum Salib. Intinya adalah perjanjian damai yang mana daerah pedalaman akan menjadi milik kaum Muslimin dan umat Kristen yang akan ziarah ke Baitul Maqdis akan terjamin keamanaNnya . Dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor terjadinya Perang Salib dan bagaimana peran Salahuddin al-Ayyubi dalam menghadapi pasukan Salib serta bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh Perang Salib tersebut. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perang Salib Perang Salib berasal dari Bahasa Arab, yaitu حـر كـة yang berarti suatu gerakan atau barisan, dan صـلـيـبـيـة yang berarti kayu palang, tanda silang (dua batang kayu yang bersilang) . Jadi Perang Salib adalah suatu gerakan (dalam bentuk barisan) dengan memakai tanda salib untuk menghancurkan umat Islam. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam, Perang Salib ialah gerakan kaum Kristen di Eropa yang memerangi umat Islam di Palestina secara berulang-ulang, mulai dari abad XI sampai abad XIII M. untuk membebaskan Bait al-Maqdis dari kekuasaan Islam dan bermaksud menyebarkan agama dengan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di Timur. Dikatakan salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka . Terhadap pengertian ini, diperkuat lagi oleh Philip K. Hitti bahwa Perang Salib itu adalah perang keagamaan selama hampir dua abad yang terjadi sebagai reaksi umat Kristen di Eropa terhadap umat Islam di Asia yang dianggap sebagai pihak penyerang. Perang ini terjadi karena sejak tahun 632 M. (Nabi SAW. wafat) sampai meletusnya Perang Salib, sejumlah kota-kota penting dan tempat suci umat Kristen telah diduduki umat Islam seperti Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicilia. Perang tersebut merupakan suatu ekspedisi militer dan terorganisir untuk merebut kembali tempat suci di Palestina. Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah dipahami bahwa Perang Salib adalah perang yang dilakukan oleh ummat Kristen Eropa dengan mengerahkan umatnya secara terorganisir yang bersifat militer, dan menurut mereka, Perang Salib ini merupakan perang suci untuk merebut kembali Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam. B. Faktor-faktor Terjadinya Perang Salib Perang Salib sesungguhnya merupakan reaksi bangsa Barat terhadap kekuasaan Islam. Kedudukan Islam di semenanjung Iberia, serangan dan pendudukan Islam atas Sisilia maupun serangan atas semenanjung Balkan dan lebih-lebih lagi pendudukan daerah Timur Tengah oleh bangsa Turki yang akhirnya mengakibatkan terganggunya perjalanan para peziarah ke Yerussalem, sehingga kaum Salib ingin merebut kota suci tersebut. Hal inilah yang memicu terjadinya Perang Salib, dan di antara faktor-faktor penyebabnya , antara lain :  Faktor Agama Salah satu peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan Alp Arselan (Penguasa Saljuk) adalah peristiwa Manzikart pada tahun 1071 M. (464 H.). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Bizantium (Kristen) yang berjumlah 200.000 orang, yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Kekalahan ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian menjadi benih dari Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H. dari kekuasaan Dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Saljuk menetapkan peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah di sana dan aturan tersebut sangat menyulitkan mereka, akhirnya menghilangkan kemerdekaan umat Kristen untuk beribadah di Yerussalem . Pada abad pertengahan, gereja mempunyai peranan dan pengaruh yang besar terhadap masyarakat di Eropa. Pihak gereja menyatakan bahwa siapa saja yang melanggar aturan yang ditetapkan oleh gereja, maka akan mendapat hukuman. Pada hal masyarakat pada waktu itu banyak yang berbuat kesalahan dan mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh gereja. Untuk mensucikan diri dan bertobat dari kesalahan tersebut, manusia harus banyak berbuat baik dan berbakti menurut ajaran agama (Kristen), dengan berziarah ke Bait al-Maqdis di Yerussalem, berpuasa dan mengerjakan kebaikan lainnya. Mereka yakin bahwa apabila berziarah ke tanah suci saja mendapat pahala yang besar dan dapat menebus dosa, maka sudah tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem dari kekuasaan Islam, adalah jauh lebih besar pahalanya .  Faktor Politik Kekalahan Bizantium di Manzikart (Armenia) pada tahun 1071 dan jatuhnya Asia Kecil di bawah kekuasaan Saljuk, telah mendorong Kaisar Alexius Comnenus I (Kaisar Costantinopel) untuk meminta bantuan kepada Paus Urbanus II (menjadi Paus dari 1088-1099) dalam usahanya untuk mengembalikan kekuasaannya dari pendudukan Dinasti Saljuk. Paus Urbanus II bersedia membantu Bizantium karena adanya janji Kaisar Alexius untuk tunduk di bawah kekuasaan Paus di Roma, serta dengan harapan dapat mempersatukan gereja Yunani dan Roma. Pada waktu itu, Paus memiliki kekuasaan dan pengaruh yang sangat besar terhadap raja-raja yang berada di bawah kekuasaannya. Demikian pula, adanya cita-cita Paus yang bersifat agresif untuk menguasai dunia Timur dengan berencana mendirikan suatu kerajaan Latin. Hal ini pulalah yang menyulut peperangan antara Kristen dan Islam, yang secara periodik dan historis menggunakan waktu yang lama serta pengorbanan material dan jiwa yang cukup banyak.  Faktor Sosial Ekonomi Para pedagang besar yang berada di kota Venezia, Genoa, dan Pisa, berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan perdagangan mereka. Untuk itu, mereka rela menanggung sebagian dana peperangan dengan maksud menjadikan kawasan tersebut sebagai pusat perdagangan, apabila pihak Kristen Eropa memperoleh kemenangan. Hal itu dimungkinkan karena jalur Eropa akan bersambung dengan jalur perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut. Demikian pula para petualang dari ksatria Kristen, merasa puas dengan harta rampasan atau upeti dari negeri taklukan. Di samping itu, stratifikasi sosial masyarakat Eropa ketika itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu : Kaum gereja, bangsawan dan ksatria, serta rakyat jelata. Mayoritas masyarakat di Eropa adalah rakyat jelata, kehidupan mereka sangat tertindas, terhina, dan harus tunduk kepada para tuan tanah yang sering bertindak semena-mena serta mereka dibebani berbagai pajak dan sejumlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, pihak gereja memobilisasi mereka untuk turut mengambil bagian dalam Perang Salib dengan janji akan diberikan kebebasan dan kesejahteraan yang lebih baik, apabila dapat memenangkan peperangan. Mereka menyambut seruan itu secara spontan dengan bersama-sama melibatkan diri dalan perang tersebut. C.Perang Salib Pertama Perang Salib pertama (1095-1101). Tidak seperti Gregory VII, Paus Urban II berada dalam posisi untuk menjawab permintaan Timur. Pada November 1095, dia memanggil Konsili Clermont di Prancis Selatan dimana dia meminta dengan sangat pada hadirin -yang terdiri dari bukan hanya Uskup dan Kepala Biara, tapi juga kaum bangsawan, ksatria dan rakyat sipil- untuk memberikan bantuan kepada Kekristenan Timur. Telah terjadi banyak peperangan antar sesama Bangsa Eropa dan pada pertemuan yang diadakan di tempat terbuka tersebut, Paus mendorong mereka untuk berdamai satu sama lain dan memusatkan kekuatan militer mereka untuk tujuan yang konstruktif -membela Kekristenan dari aggresi Muslim, membantu Kristen Timur, dan mengambil alih kembali Kubur Kristus. Dia juga menekankan perlunya pertobatan dan motif spiritual dalam melakukan kampanye ini, menawarkan indulgensi total bagi mereka yang berkaul untuk melakukan tugas ini. Jawaban dari para hadirin sangat antusias, para hadirin berteriak "Deus Vult!" (Tuhan menghendakinya!). Dalam Kosnili Clermont juga ditetapkan bahwa mereka yang pergi untuk melaksanakan tugas akan memakai Salib Merah (Latin:Crux). yang kemudian membuat kampanye ini disebut Perang Salib. Persiapan dimulai di seluruh Eropa. Kebanyakan tidak terorganisasi ataupun tidak mempunyai semangat seperti yang didengungkan Paus. Beberapa prajurit begitu kurang persiapan sehingga mereka menjarah untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa orang German membantai orang Yahudi. Beberapa tidak pernah sampai di Konstantinopel. Beberapa anggota dari "People's crusade" yang tidak terorganisasi dan begitu tidak disiplin dan dikirim oleh Kaisar pada Agustus 1096 menuju ke Bosphorus, lebih dulu dari pasukan utama Perang Salib, mereka dibantai oleh tentara Turki. Prajurit Salib utama terdiri dari empat pasukan yang berasal dari Perancis, German dan Normandia, dibawah pimpinan Godfrey dari Boullion, Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), Raymond dari Saint-Giles, dan Robert dari Flanders. Namun, Kaisar Byzantin Alexius tidak ingin tentara yang begitu banyak berada di Konstantinopel dan kemudian dikirimnya mereka ke Asia Minor sesuai dengan urutan kedatangan mereka. Sang Kaisar juga mensyaratkan agar kepala Pasukan bersumpah bahwa mereka akan mengembalikan tanah yang mereka rebut dari pihak Muslim yang dulunya adalah daerah Byzantine. Pada Juni 1097, Nicea diambil alih oleh Byzantine dan para Prajurit Salib. Bulan berikutnya Prajurit Salib dan Byzantine mendapatkan kemenangan besar melawan Turki ketika mereka diserang di Dorylaeum. Kemajuan lebih lanjut cukup sulit dan nampaknya beberapa orang menjadi putus semangat. Salah satunya adalah Alexius, yang berjanji untuk membantu kota Antioka yang terkepung. Ketika sang Kaisar berhenti untuk berusaha, para Prajurit Salib merasa bahwa kewajiban untuk menyerahkan Dorylaeum kembali ke Kaisar, telah hilang karena sang Kaisar sendiri tidak mampu mempertahankannya (Alexus telah hilang semangat). Karena itu, saat Dorylaeum diambil alih pada Juni 1099, kota tersebut jatuh ke tangan orang Normandia. Bulan berikutnya Fatimid Muslim dari Mesir mengambil alih kembali Yerusalem dari kaum Seljug Turky, jadi para Prajurit Salib melakukan serangan bukan kepada bangsa Turky. Ini terjadi pada 1099. Selama sebulan para Prajurit Salib, yang telah berkurang separuh dari kekuatan awal, mendirikan kemah disekeliling Yerusalem sementara Gubernur Fatimid menunggu bantuan tentara dari Mesir. Disisi lain Prajurit Salib mendapatkan persediaan makanan dan kebutuhan dari pelabuhan Jaffa dan memulai gerkan mereka. Pada 8 Juli Prajurit Salib berpuasa dan berjalan dengan telanjang kaki mengelilingi kota menuju ke Gunung Zaitun (tempat Yesus mengalami Sakral Maut), dan pada tanggal 13, mereka mengepung tembok kota. Pada tanggal 15, beberapa prajurit berhasil melewati tembok dan membuka salah satu gerbang kota yang membuat pasukan utama mampu menyerbu kedalam. Di Menara Daud, Gubernur Fatimid menyerah dan diantar keluar dari kota. Dari dalam Mesjid Al-Agsa dekat Bukit Kuil (Temple Mount), Tacred, salah satu pimpinan Prajurit Salib, menjanjikan perlindungan bagi warga Muslim dan Yahudi di kota tersebut. Sayangnya, meskipun ada upaya tersebut, pembantaian tetap terjadi. Bulan selanjutnya Prajurit Salib mengejutkan dan memukul balik pasukan bantuan dari Mesir yang dinanti-nanti Gubernur Fatimid. Prajurit Salib mengkokohkan kendali warga Kristen di Yerusalem, meskipun banyak kota pelabuhan masih berada dalam kendali Muslim. Kebanyakan Prajurit Salib kemudian pergi kembali ke rumah setelah merasa bahwa tujuan dan kaul mereka telah tercapai. Sebagai hasil dari Perang Salib pertama, telah terbentuk empat negara bagian Kristen dari wilayah yang telah direbut Prajurit Salib: Kerajaan Jerusalem terdahulu, Principality Antioka (Prinsipality = daerah yang dikuasai pangeran/prince), Countship Edessa (Countship = daerah dalam kekuasaan Count. Count = semacam bangsawan) dan Countship Tripoli. Negara-negara bagian ini, yang menggunakan sistem feodal dalam konteks yang terlepas dari permusuhan lokal seperti yang terjadi di Eropa, telah disebut-sebut sebagai model administrasi Medieval. Namun, hubungan antara negara bagian, kekaisaran Byzantine dan daerah Muslim disekitarnya sering rumit. Untuk mempertahankan negara-negara bagian baru ini, sebuah pasukan baru terbentuk –ordo-ordo Ksatria, seperti Hospitaleer oleh St John dari Yerusalem dan Templars. Ini adalah kelompok ksatria yang berkaul religius dan melakukan aturan-aturan religious. Untuk suatu saat negara-negara bagian akibat Perang Salib berkembang. Seiring dengan waktu, negara-negara bagian tersebut membesar meliputi kota-kota pelabuhan yang ditinggal dan tidak diakui oleh siapapun sebagai daerah kekuasaan. Meskipun begitu, negara-negara bagian tersebut masih lemah. Pada 1144 negara bagian utara Edessa ditawan oleh Pasukan Muslim. Untuk suatu saat negara-negara bagian akibat Perang Salib berkembang. Seiring dengan waktu, negara-negara bagian tersebut membesar meliputi kota-kota pelabuhan yang ditinggal dan tidak diakui oleh siapapun sebagai daerah kekuasaan. Meskipun begitu, negara-negara bagian tersebut masih lemah. Pada 1144 negara bagian utara Edessa ditawan oleh Pasukan Muslim. D.Perang Salib Kedua Perang Salib Kedua (berlangsung dari sekitar tahun 1145 hingga tahun 1149) adalah Perang Salib kedua yang dilancarkan dari Eropa, yang dilaksanakan karena jatuhnya Kerajaan Edessa pada tahun sebelumnya. Edessa adalah negara-negara Tentara Salib yang didirikan pertama kali selama Perang Salib Pertama (1095–1099), dan juga yang pertama jatuh. Perang Salib Kedua diumumkan oleh Paus Eugenius III, dan merupakan Perang Salib pertama yang dipimpin oleh raja-raja Eropa, yaitu Louis VII dari Perancis dan Conrad III dari Jerman, dengan bantuan dari bangsawan-bangsawan Eropa penting lainnya. Pasukan-pasukan kedua raja tersebut bergerak menyebrangi Eropa secara terpisah melewati Eropa dan agak terhalang oleh kaisar Bizantium, Manuel I Comnenus; setelah melewati teritori Bizantium ke dalam Anatolia, pasukan-pasukan kedua raja tersebut dapat ditaklukan oleh orang Seljuk. Louis, Conrad, dan sisa dari pasukannya berhasil mencapai Yerusalem dan melakukan serangan yang "keliru" ke Damaskus pada tahun 1148. Perang Salib di Timur gagal dan merupakan kemenangan besar bagi orang Muslim. Kegagalan ini menyebabkan jatuhnya Kota Yerusalem dan Perang Salib Ketiga pada akhir abad ke-12. Serangan-serangan yang berhasil hanya terjadi di luar laut Tengah. Bangsa Flem, Frisia, Normandia, Inggris, Skotlandia, dan beberapa tentara salib Jerman, melakukan perjalanan menuju Tanah Suci dengan kapal. Mereka berhenti dan membantu bangsa Portugis merebut Lisboa tahun 1147. Beberapa di antara mereka, yang telah berangkat lebih awal, membantu merebut Santarém pada tahun yang sama. Mereka juga membantu menguasai Sintra, Almada, Palmela dan Setúbal, dan dipersilahkan untuk tinggal di tanah yang telah ditaklukan, tempat mereka mendapatkan keturunan. Sementara itu, di Eropa Timur, Perang Salib Utara dimulai dengan usaha untuk merubah orang-orang yang menganut paganisme menjadi beragama Kristen, dan mereka harus berjuang selama berabad-abad. Setelah terjadinya Perang Salib Pertama dan Perang Salib 1101, terdapat tiga negara tentara salib yang didirikan di timur: Kerajaan Yerusalem, Kerajaan Antiokhia, dan Kerajaan Edessa. Kerajaan Tripoli didirikan pada tahun 1109. Edessa adalah negara yang secara geografis terletak paling utara dari keempat negara ini, dan juga merupakan negara yang paling lemah dan memiliki populasi yang kecil; oleh sebab itu, daerah ini sering diserang oleh negara Muslim yang dikuasai oleh Ortoqid, Danishmend, dan Seljuk. Baldwin II dan Joscelin dari Courtenay ditangkap akibat kekalahan mereka dalam pertempuran Harran tahun 1104. Baldwin dan Joscelin ditangkap kedua kalinya pada tahun 1122, dan meskipun Edessa kembali pulih setelah pertempuran Azaz pada tahun 1125, Joscelin dibunuh dalam pertempuran pada tahun 1131. Penerusnya, Joscelin II, dipaksa untuk bersekutu dengan kekaisaran Bizantium, namun, pada tahun 1143, baik kaisar kekaisaran Bizantium, John II Comnenus dan raja Yerusalem Fulk dari Anjou, meninggal dunia. Joscelin juga bertengkar dengan Raja Tripoli dan Pangeran Antiokhia, yang menyebabkan Edessa tidak memiliki sekutu yang kuat. Sementara itu, Zengi, Atabeg dari Mosul, merebut Aleppo pada tahun 1128. Aleppo merupakan kunci kekuatan di Suriah. Baik Zengi dan raja Baldwin II mengubah perhatian mereka ke arah Damaskus; Baldwin dapat ditaklukan di luar kota pada tahun 1129. Damaskus yang dikuasai oleh Dinasti Burid, nantinya bersekutu dengan raja Fulk ketika Zengi mengepung kota Damaskus pada tahun 1139 dan tahun 1140; aliansi dinegosiasikan oleh penulis kronik Usamah ibn Munqidh. Pada akhir tahun 1144, Joscelin II bersekutu dengan Ortoqid dan menyerang Edessa dengan hampir seluruh pasukannya untuk membantu Ortoqid Kara Aslan melawan Aleppo. Zengi, yang ingin mengambil keuntungan dalam kematian Fulk pada tahun 1143, dengan cepat bergerak ke utara untuk mengepung Edessa, yang akhirnya jatuh ketangannya setelah 1 bulan pada tanggal 24 Desember 1144. Manasses dari Hierges, Philip dari Milly dan lainnya dikirim ke Yerusalem untuk membantu, tetapi mereka sudah terlambat. Joscelin II terus menguasai sisa Turbessel, tetapi sedikit demi sedikit sisa daerah tersebut direbut atau dijual kepada Bizantium. Zengi sendiri memuji Islam sebagai "pelindung kepercayaan" dan al-Malik al-Mansur, "raja yang berjaya". Ia tidak menyerang sisa teritori Edessa, atau kerajaan Antiokhia, seperti yang telah ditakuti; peristiwa di Mosul memaksanya untuk pulang, dan ia sekali lagi mengamati Damaskus. Namun, ia dibunuh oleh seorang budak pada tahun 1146 dan digantikan di Aleppo oleh anaknya, Nuruddin. Joscelin berusaha untuk merebut kembali Edessa dengan terbunuhnya Zengi, tapi Nuruddin dapat mengalahkannya pada November 1146. BAB III KESIMPULAN Perang Salib ialah perang yang dilakukan oleh umat Kristen Eropa untuk merebut dan menguasai Bait al-Maqdis di Yerussalem dari tangan umat Islam. Dinamakan Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur mengenakan tanda Salib di dada kanan sebagai bukti kesucian cita-cita mereka. Perang ini berlangsung dari tahun 1095- 1291 M. Adapun penyebab terjadinya Perang Salib ada dua, yaitu : sebab tak langsung dan sebab secara langsung. Penyebab tak langsung ialah sejak wafatnya Rasulullah saw. di mana daerah-daerah yang dikuasai kaum Nasrani, telah direbut oleh pasukan Islam. Sedangkan penyebab secara langsung ialah 1) Ditetapkannya pajak yang dirasakan menyulitkan kaum Nasrani untuk berzirah ke Yerussalem oleh Penguasa Dinasti Saljuk. 2) Paus Urbanus II beserta Raja-raja Nasrani di Eropa bermaksud membebaskan Konstantinopel (Bizantium) dari kekuasaan Islam serta mempersatukan kekuasaan gereja di Roma dan Yunani. 3) Untuk merebut Bait al-Maqdis di Yerussalem. Disamping itu ada pula faktor atau motif yang melatar belakanginya, yaitu : faktor agama, politik, dan sosial Salahuddin al-Ayyubi mendirikan dinasti Ayyubiyyah di Mesir tahun 1175 M. Ia terkenal gagah perkasa, meneruskan perjuangannya melawan tentara Salib pada tahun 1180 M. Ia berhasil merebut kembali Bait al-Maqdis, Yerussalem pada tanggal 2 Oktober 1187 M. Namun dalam peperangannya melawan Richard di Arsuf, Salahuddin dapat dikalahkan oleh Richard pada tahun 1191 M, namun Bait al-Maqdis belum berhasil dikuasainya. Maka dibuatlah perjanjian perdamaian di Ramlah antara Salahuddin dengan Richard pada tanggal 2 November 1192 M. Adapun dampak Perang Salib adalah adanya kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak. Meskipun pihak Kristen Eropa menderita kekalahan dalam Perang Salib, namun mereka mendapat hikmah yang tak ternilai harganya sebab mereka dapat berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban Islam yang sudah sedemikian majunya. Dan walaupun umat Islam berhasil mempertahankan wilayah-wilayahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang dipikul terlalu banyak untuk dihitung. Karena peperangan berlangsung dari dalam wilayah sendiri.